September at Love ...
Aku mulai mengalihkan perhatianku
kepadanya saat sosoknya melangkah mendekat ke arahku. Tentu saja bukan karena
akan menghampiriku. Ya, tetapi karena teman – temannya yang sedari tadi duduk
bersebelahan denganku dan dua orang sahabatku. Saat itu aku yang sedang asik
bercanda tawa dengan sahabat – sahabatku tiba – tiba menghentikkan tawaku itu
karena dia. Tatapanku terfokus ke arahnya yang tak lama kemudian berbalik
menatapku seakan berbalas saling menatap. Sungguh aku kira hari itu adalah hari
yang sangat membahagiakan. Ditambah lagi aku melihat senyum dan tawa dari
balik wajahnya. Terlihat begitu manisnya. Pesonanya berhasil menciptakan
keindahan yang bertubi. Suasana sunyi seketika berubah setelah sahabatku
menciptakan sebuah dialog yang kemudian menjadikan kami saling bertegur sapa.
Hanya kalimat basa – basi saja sebenarnya, tapi mampu membuat kita semua
menjadi keasikan mengobrol. Tak berapa lama pun akhirnya kita saling mengenal.
Sebut saja dia Parevri dan aku Sita. Sayangnya, tak lama kita pun harus
mengakhiri dialog yang hanya sekedar basa – basi itu.
Malam itu aku sedang berdiam sendiri,
memandang hujan yang sedari tadi mengguyur kota Yogyakarta. Melihatnya dari
depan kamar kostku di lantai dua. Tiba – tiba ringtone handponeku berbunyi. Aku
mencarinya dan terus mencari. Mendekat ke arah sumber suara ringtone berbunyi.
Entah dimana aku meletakkan handponeku tadi. Ya, memang kebiasaanku itu melupa.
Aku ceroboh. Tak lama aku pun menemukannya, di bawah tumpukan buku yang belum
aku rapikan. Sangat berantakan karena memang baru selesai aku baca dan belum
sempat aku kembalikan ke rak buku. Langsung aku meraih handponeku, ternyata
duabelas digit nomor yang tidak aku ketahui siapa pemiliknya itulah yang
menjadi penyebab kebisingan ringtone handponeku berbunyi. Hanya aku abaikan
karena memang aku tidak mengenalnya. Ya, aku tidak terbiasa menerima telfon
dari nomor yang tidak aku ketahui siapa pemiliknya. Tak hanya sekali, bahkan
berkali – kali handponeku itu terus berbunyi. Sampai akhirnya aku menjadi
penasaran apa motiv dari si penelfon untuk menelfonku. Ku tekan tombol terima
dan mulai menyuarakan suaraku. “Hallo”, kata pertama yang keluar dari bibirku.
Terdengar suara rupawan dari balik handpone membalas sapaanku. Suara yang khas
itu. Aku mulai mengingat dan sepertinya aku mengenalnya. Ternyata benar,
Parevri menyempatkan waktunya untuk menelfonku. Malam itu kita berbincang
dengan sangat asik, melalui telfon saat hujan masih saja menemaniku dimalam
itu. Namun sekarang berbeda, bukan hanya dalam diam melainkan bersama canda
tawa yang aku ciptakan bersama Parevri.
Perkenalan kita tak hanya berujung di
20 sepetember dan di kala telfon malam itu. Semenjak perbincangan asik itu
setiap malam sebelum tertidur dia selalu saja menelfonku. Menyempatkan waktunya
untuk berbagi cerita denganku tentang aktivitasnya dihari itu. Sebaliknya, aku
pun mulai asik dengan ceritaku yang aku ceritakan kepada Parevri. Seperti
saling berbagi cerita. Sangat menyenangkan. Dan itulah kegiatan yang akhirnya
menjadi rutinitas kita setiap hari dan setiap malam. Kita menjadi semakin
dekat. Semakin mengenal lebih dalam. Sampai malam itu, Parevri memberanikan
diri untuk mengajakku bertemu. Di depan kampus aku menunggunya, bersama
sahabatku yang juga sedang menunggu kekasihnya. Tak lama mereka pun tiba.
Mereka tiba bersama karena memang mereka tinggal di asrama yang sama. Malam
itulah yang menjadi awal kedekatanku dengan Parevri. Kita menjadi terlalu
sering bertemu. Setiap aku merasakan rindu, setiap dia merasakan rindu, saat itulah
kita mengharuskan bertemu.
30 september, selamat ulang tahun Parevri. Pagi itu tentu aku sempatkan
untuk mengucapkan selamat kepada Parevri. Hanya sekedar ucapan selamat, tanpa
kado. Karena memang saat itu kita belum terlalu dekat dan statusku baru sekedar
kenalannya saja. Sekedar teman kenalan sepuluh hari. Tapi sebenarnya jauh di
dalam lubuk hatiku ingin sekali rasanya aku memberikan sesuatu yang benar –
benar istimewa di hari kelahirannya itu. Namun aku bingung, aku tak tahu
bagaimana cara memberikannya. Sepertinya aku merasa malu. Dan aku hanya takut
pemberianku itu tidak dianggap istimewa. Karena aku pikir aku bukan siapa –
siapa dan sekali lagi aku hanya sekedar teman kenalannya yang baru berjalan
sepuluh hari itu. Siang itu, tiba – tiba Parevri dan dua temannya sudah berada
di depan kostku. Entah apa yang mereka lakukan. Aku pun mulai terheran. Tidak
seperti biasanya. Karena memang sebelumnya tidak pernah mereka berkunjung ke
tempatku. Hanya waktu itu saja, Parevri mengantarkanku pulang. Itu pun hanya
mengantarkan. Hanya ingin sekedar bersilaturahmi saja katanya, kata mereka
bertiga. Kami berlima pun berbincang – bincang di teras. Aku, Parevri dengan
dua temannya, dan sahabatku yang memang satu kost denganku. Ditengah
perbincangan kita yang mengasikkan itu aku ternga-nga ketika temannya berkata
bahwa Parevri menyukaiku sejak pertama kita bertemu. Sempat aku tak menduganya.
Tetapi memang seperti itulah yang dikatakan. Tiba – tiba dia mengatakannya.
Menyatakan cinta, yang aku kira itu terlalu cepat bagiku. Bukannya aku tak
menerima, aku hanya butuh waktu untuk lebih mengenalnya lebih dalam. Aku memang
menyukainya, tapi aku hanya tidak ingin tergesa – gesa. Dan bukannya untuk
menciptakan suatu hubungan itu dibutuhkan pendekatan lebih jauh agar dapat saling
mengenal lebih dalam bukan? Dan aku meminta maafmu karena aku belum mampu
menjadikanmu satu – satunya dihidupku, Parevri. And, no problem. Dia bisa
menerimanya. Bahkan setelah kejadian itu kita masih tetap dekat. Masih ingat
kan kalau hari ini hari ulang tahunnya? Ayam geprek didepan mata guys. Ya,
tentu kita menagih traktiran makan dong. Kala itu kedua kalinya aku
diboncengnya. Lagi – lagi aku merasakan kenyamanan. Ahh sudah jangan pikirkan
itu dulu, yang penting makan ayam geprek men. Parevri, lalu dia pun menyantap
ayam geprek dengan cabai sepuluhnya itu. Bayangkan seperti apa pedasnya. Aku
suka itu. Memandangnya sembari tertawa kecil. Bagaimana tidak. Keringatnya yang
sedari tadi menetes, menandakan dia sedang kepedasan. Lucu sekali. Aku selalu
mengingat itu. Dan lagi- lagi dia mampu menciptakan kebahagiaanku, sekalipun
itu melalui hal terkecil. Dan singkatnya, 30 september itu aku merasakan
kebahagiaan. Karena dia.
0 komentar:
Posting Komentar